Thursday, November 21, 2013

Dinda

Wajahnya biasa saja. Aku juga tidak tahu, apa yang sedari tadi menarik perhatianku untuk terus memandanginya. Ada. Sepasang lesung pipi dan satu dua gurat lesung di dagunya menjadikannya begitu manis, saat tertawa.

Ia duduk di meja berseberangan dengan mejaku. Tidak sendirian, ia bersama 3 perempuan dan 2 laki-laki lainnya. Sedang merayakan sesuatu, mungkin ada yang berulangtahun. Ah iya, wanita itu yang berulangtahun. Ia datang 30 menit lebih awal ke tempat itu, sendirian, tersenyum-senyum memandangi ponselnya. Lalu gerombolan lainnya datang riuh membawa kue dengan lilin "dua puluh tiga" di atasnya. Wanita itu menutup mulut dengan kedua tangannya, matanya berbinar haru, meniup lilin-lilin itu lalu memeluk satu-satu temannya.

Sudah dua jam sejak acara tiup-tiup lilin itu. Aku sudah menghabiskan satu setengah gelas mocca frappe dan setengah piring nasi goreng bistik yang kupesan.

Meja mereka masih penuh makanan. Ia belum mengunyah makanan apa pun dari tadi. Ada yang masih ditunggu sepertinya. Hanya satu dua temannya yang menyapil kentang goreng dari piring saji, dua tiga lainnya sibuk berfoto dengan ponsel pintar mereka. Dia tidak.

Tawanya tadi tampak cemas. Namun wajahnya jadi lebih manis. Wajah cemas-cemas menunggunya, manis. Aku tersenyum. Sesekali ia memandangi jam tangan, ponselnya, dan hujan deras di luar lewat jendela lebar di samping tempat duduknya.

"Kalian pasti udah laper yaaa?"
ah, suaranya pun begitu merdu di telingaku.

"Iya nih, masih mau nungguin Fahri ya Din?" seorang temannya menanggapi.

"Ngga usah deh, dia kayanya ngga bisa datang. Yuk, makan." jawabnya tersenyum simpul.

Lima orang tadi langsung heboh dengan santapan mereka. Tetap, dia hanya menusuk-nusuk potongan daging di piringnya dengan garpu, tanpa ada sepotong pun yang mendarat dalam mulutnya. Masih memandangi bergantian jam tangan, ponselnya, dan hujan di luar yang ragu-ragu akan berhenti.

Wajahnya gundah, sendu, terlalu cemas. Aku tak selera lagi melanjutkan makan. Aku ingin memandang lagi lesung pipi dan dagu itu, hiburanku malam ini.

Seorang pria, basah kuyup muncul dari pintu masuk di belakang meja mereka. Bungkusan yang dibawanya basah, rusak nyaris tak berbentuk. Pria itu lalu menghampiri meja Din, merogoh saku kanan celananya, mengeluarkan sebuah kotak kecil, meletakkan bungkusan rusak itu di meja Din, mengalungkan kedua lengannya dari belakang tubuh Din, menunjukkan sebuah cincin dari kotak hitam yang tadi dirogohnya. Kilau cincin itu membuatku berdebar, cemburu.

Pria itu membisikkan sesuatu di telinga Din, aku membacanya. Din menoleh terbata sesaat pada wajah pria itu, gantian melihat cincin di hadapannya, menutupkan kedua tangan ke mulutnya, lagi, saat ini dengan menangis, teramat sangat, sesenggukan. Pria itu tampak salah tingkah menenangkan, merasa bersalah. Din bangkit dari tempat duduknya, memukul-mukul keras tubuh pria itu.
"Kamu dari mana?????"
Wajah itu antara murka dan lega, lantas Din mendaratkan pelukannya pada pria itu.

Pria itu tentu Fahri, dan apa yang dibisikkannya di telinga Din,
"Would you marry me, Dinda?" aku membacanya.

1 comment: